Spora pada bakteri

0 komentar

Kamis, 14 April 2011


       Endospora adalah struktur spesifik yang ditemukan pada beberapa jenis bakteri. Dua jenis bakteri yang dapat membentuk spora misalnya Clostridium dan Bacillus. Clostridium adalah bakteri yang bersifat anaerobic, sedangkan Bacillus pada umumnya bersifat aerobic. Struktur endospora mungkin bervariasi untuk setiap jenis spesies, tapi umumnya hamper sama. Endospora bakteri merupakan struktur yang tahan terhadap keadaan lingkungan yang ekstrim misalnya kering, pemanasan, dan keadaan asam.

       Variasi letak spora :
  1. Ditengah sel (sentral). Contoh Bacillus Cereus.
  2. Di ujung sel (terminal). Contohnya Clostridium thuringensis.
  3. Didekat ujung (sub terminal). Contohnya Clostridium subterminale.
         Bakteri pembentuk spora lebih tahan terhadap desinfektan, sinar, kekeringan, panas, dan kedinginan. Kebanyakan bakteri pembentuk spora tinggal di tanah, namun spora bakteri dapat tersebar di mana saja.

       Metode pengecatan spora :
  • Metode Scaffer fulton
  • Metode Bartolomev mittwer
  • Metode Klein
  • MetodeWirtz
  Prosedur Pengecatan 
a. Metode Scaffer fulton
  1. Bersihkan objek glass dengan alkohol agar bebas dari lemak
  2. Buat preparat  dari biakan yang ada secara aseptik
  3. Kering anginkan
  4. Lakukan fiksasi di atas nyala api
  5. Genangi preparat dengan 2-3 tetes malachite green 5% panasi hingga keluar uap 3 kali, diamkan selama 10 menit
  6. Cuci dengan air mengalir
  7. Tetesi dengan cat safranin selama 1 menit
  8. Cuci dengan air mengalir  
  9. Preparat dikering anginkan 
  10. Amati preparat dengan mikroskop ( memakai minyak imersi) 
  11.      Spora berwarna merah sedangkan bentuk vegetatif berwarna hijau 
    b.Metode Bartolomev mittwer
    1. Bersihkan objek glass dengan alkohol agar bebas dari lemak
    2. Buat preparat  dari biakan yang ada secara aseptik
    3. Kering anginkan
    4. Lakukan fiksasi di atas nyala api
    5. Genangi preparat dengan 2-3 tetes malachite green 5% dan biarkan selama 10 menit,
    6. Cuci dengan air mengalir
    7. Tetesi dengan cat safranin selama 1 menit
    8. Cuci dengan air mengalir
    9. Preparat dikering anginkan
    10. Amati preparat dengan mikroskop ( memakai minyak imersi) 

    11. Spora berwarna merah sedangkan bentuk vegetatif berwarna hijau


    c.Metode Klein I
    1.     Campur  suspensi bakteri dengan carbol fuschin dalam tabung reaksi dengan perbandingan 1:1.
    2.     Panaskan  dalam penangas air selama10 menit pada temperatur  80 0 C .
    3.     Buat preparat  dari campuran suspensi diatas.
    4.     Celupkan ke dalam asam sulfat selama 1-2 detik.
    5.     Cuci dengan air mengalir, lalu genangi  methylene blue selama 3 menit.
    6.     Cuci dengan air, kering anginkan
    7.     Amati dibawah mikroskop perbesaran 1000x dengan emersi oil
    8.     Spora berwarna merah sedangkan bentuk vegetatif berwarna biru

     
     d.  Metode Wirtz 
    1.     Buat preparat dari suspensi bakteri.
    2.     Genangi dengan malachite green, panaskan sampai menguap kurang lebih selama 2 menit.
    3.     cuci dengan air mengalir, tambahkan safranin selama 30 detik.
    4.     Cuci dengan air, keringkan dengan kertas saring.
    5.     Amati dengan perbesaran1000x dengan emersi oil.





pemanis buatan

0 komentar

Rabu, 13 April 2011

sakarin natrium
(Sacharinum natricum)
A. Rumus kimia

(C7H4NNaO3S . 2H2O)

B. Kegunaan
• Banyak digunakan pada permen karet, permen, saus,es krim,es lilin,selai jeli,sirup,minuman ringan,yoghurt,dan minuman fermentasi.

C. Prosedur Penetapan Kadar secara Alkalimetri
1. Timbang seksama ±500 mg, pindahkan seksama ke dalam corong pisah dengan bantuan 10 ml air.
2. Tambahkan 2 ml asam klorida 3 N ,ekstraksi endapan sakarin, pertama dengan 30 ml kemudian 5 kali,tiap kali dengan 20 ml campuran pelarut kloroform P dan etanol P (9:1)
3. Uapkan kumpulan ekstrak diatas tangas uap dengan bantuan aliran udara hingga kering
4. Larutkan residu dengan 40 ml etanol P
5. Tambahkan 40 ml air ,campur tambahkan fenolftalein LP
6. Titrasi dengan Natrium hidroksida 0,1 N LV
7. Lakukan penetapan blanko menggunakan campuran 40 ml etanol P dan 40 ml air.
1 ml Natrium hidroksida 0,1 N 20,52 mg C7H4NNaO3S




Daftar Pustaka
Anonim.1995.Farmakope Indonesia Edisi IV.Jakarta:Departemen Kesehatan RI halaman 750
http://id.wikipedia.org/wiki/sacharine diunduh pada 24 maret 2011 jam 10.50

penyebab fascioliasis di indonesia

0 komentar

Jumat, 08 April 2011

Fasciola gigantica
Fasciola gigantica adalah parasit yang cukup potensial penyebab fascioliasis atau distomatosis. Di Indonesia fascioliasis merupakan salah satu penyakit ternak yang telah lama dikenal dan tersebar secara luas. Keadaan alam Indonesia dengan curah hujan dan kelembaban yang tinggi, dan ditunjang pula oleh sifatnya yang hemaprodit yakni berkelamin jantan dan betina akan mempercepat perkembangbiakan cacing hati tersebut. Cacing ini banyak menyerang hewan ruminansia yang biasanya memakan rumput yang tercemar metacercaria, tetapi dapat juga menyerang manusia.
Cacing memang memerlukan kondisi lingkungan yang basah, artinya cacing tersebut bisa tumbuh dan berkembang biak dengan baik bila tempat hidupnya berada pada kondisi yang basah atau lembab. Pada kondisi lingkungan yang basah atau lembab, perlu juga diwaspadai kehadiran siput air tawar yang menjadi inang perantara cacing sebelum masuk ke tubuh ternak. Oleh karena itu,masyarakat perlu diberikan penyuluhan tentang pencegahan fascioliasis agar tidak dapat menyerang hewan ternak maupun manusia.
Sub kingdom   : Metazoa
Filum               : Platyhelminthes
Ordo                : Digenea
Family              : Fasciolidae
Kelas                : Trematoda
Genus              : Fasciola
Spesies             : Fasciola gigantica
Morfologi:
1.      Bentuk pipih seperti daun 
2.      Ventral sucker lebih besar dibanding oral sucker. 
3.      Panjang 25-75 mm dengan lebar 12 mm. 
4.      Berwarna:lebih transparan dibanding dengan Fasciola hepatica. 
Hospes definitive       : ruminansia (terutama sapi), kambing, domba didaerah beriklim tropis  kadang juga manusia
Hospes intermedier   : siput Lymnea rubiginosa ( di Indonesia disebut L. javanica).
Di Indonesia tidak ditemukan siput yang cocok sebagai hospes intermidier F. hepatica , maka di Indonesia cacing ini tidak ditemukan, kecuali sapi impor. Lymnea rubiginosa biasanya hidup dalam air jernih.
Habitat                       : Cacing dewasa hidup dalam saluran empedu dan hati hospes definitive
Bentuk infektif          : Metaserkaria
Cara infeksi               : rumput/tanaman yang mengandung metacercaria dimakan oleh   ternak/orang
Penyakit                    : fascioliasis atau distomatosis
Siklus hidup
Cacing dewasa hidup dalam saluran empedu hospes definitif (terutama ruminansia kadang juga orang) -- cacing bertelur --keluar melalui saluran empedu -- keluar melalui feses -- telur berkembang membentuk meracidium dalam waktu 9-10 hari pada suhu optimum -- meracidium terdapat pada  hospes intermedier siput Lymnea rubiginosa -- berkembang menjadi cercaria. Cercaria keluar dari siputà menempel pada tanaman air/rumput/sayuran -- cercaria melepaskan ekornya -- membentuk metacercaria. Rumput/tanaman yang mengandung metacercaria -- dimakan oleh ternak/orang -- cacing akan menginfeksi hospes definitif -- berkembang menjadi cacing dewasa.
Gejala Klinis
•Migrasi cacing dewasa ke saluran empedu menimbulkan kerusakan pada parenkim hati.
•Saluran Empedu mengalami peradangan, penebalan dan sumbatan sehingga menimbulkan Sirosis periportal
Diagnosa
Penentuan diagnosa fascioliasis pada hewan dengan ditemukan  telur Fasciola, diagnosa juga diperkuat dengan kerusakan hati hewan yang mati .
Reaksi serologi 
Pengobatan
Hexachloroethane
•Hexachlorophene
•Nitroxynil
•Derivat Benzimidazol (Albendazol, Triclabendazol, Prebendazol, Febantel) Dosis 10-15 mg/kg BB untuk sapi dan kerbau, 10 mg/kg BB untuk domba dan kambing.
 
Epidemiologi 
Fasciola gigantica merupakan parasit asli Indonesia sedangkan F. hepatica datang ke Indonesia mungkin bersama-sama dengan di bawanya sapi perah FH dari Belanda.
Prevalensi penyakit ini pada ternak di  Jawa Barat dapat mencapai 90% dan di Daerah Istimewa Yogyakarta kasus kejadiannya antara 40-90%, maka perlu diwaspadai kemungkinan terjadinya penularan penyakit ini pada manusia di Indonesia.